Selasa, 12 Agustus 2014

Mengkritik dan Dikritik

Mengkritik dan Dikritik


Prinsip KEEMPAT hidup dalam sebuah persekutuan. Jangan hanya mau mengkritik, tetapi tidak mau dikritik. Kata kritik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Kita harus bersedia mengenakan kritik yang kita lontarkan kepada orang lain, juga kepada diri kita sendiri dan dengan terbuka bersedia menerima kritik orang lain.
Seseorang yang mendapat kritik negatif  bisa merasa

down dan emosi atau terbentuk semakin matang tergantung pada kemampuannya dalam meresponnya. Namun seseorang juga bisa menghancurkan semangat atau membina orang lain semakin dewasa tergantung pada kemampuannya dalam memberi kritik. Setiap orang pernah mendapat atau memberi kritik. Maka mempelajari seni merespon dan memberi kritik dengan manis agar tetap bisa menjalin dan membina hubungan tetap harmonis perlu.

Tidak semua orang suka dikritik. Namun bila mendapat kritik, hadapi dengan rileks, jangan terlalu serius. Bukan berarti apatis. Ini untuk membantu mengembangkan kemampuan dalam melihat kekurangan diri sendiri. Menertawai kecerobohan itu perlu. Orang yang bisa menertawai kekurangannya biasanya dapat kembali ke jalur jauh lebih cepat ketimbang orang perfeksionistis, yang membiarkan dirinya merasa bersalah. Maka berbahagialah orang yang bisa melihat dan menertawai kekurangannya. Kita bukan orang yang sempurna, namun berusaha menuju ke sana.

Biasanya, kalau kritik yang tidak adil kita respon dengan amat sangat serius, kita, secara pribadi, di dalam hati, remuk secara emosional, ingin balas dendam dan sakit hati meski di luar kita nampak menghargai kritik itu. Maka rilekslah, hadapi dengan manis. Kalau perlu tanggapi dengan humor segar. Fokus pada orangnya serta melihat kritik itu melampaui isinya juga efektif dalam menangani kritik. Tanya, siapa dia? Siapa pengkritik itu? Mungkin perlu mempertimbangkan wataknya. Apakah orang ini, tak peduli di mana dan kapan, memang suka mengkritik? Jika ya, tanggapi dengan guyonan. Tak perlu menilai kritik itu dengan emosi dan terbenam makin dalam. Juga Dalam merespon kritik, lihat apakah ada orang banyak, bukan hanya pengkritik itu. Cakrawala pergaulan pribadi perlu diperluas. Sebab ada kemungkinan kita mendapat kritik yang sama dari beberapa orang. Kalau kasusnya demikian berarti kritik itu perlu dicermati. Evaluasi untuk melihat kekurangan dan progres sejauh ini. Itu artinya ada tantangan yang mesti kita hadapi.

Sekarang prinsip KELIMA. Jangan punya hobi atau kegemaran jadi “tukang kritik”. Atau merasa jago, bila melontarkan kritik sebanyak mungkin. Bahaya yang mengintip “si tukang kritik” adalah kecendrungan mencari-cari kesalahan orang, bagai orang yang mencari kutu. Dengan amat cepat mengawasi tingkah laku orang sampai sedetail-detailnya, mencari alasan agar dapat melakukan “koreksi”. Koreksi yang membangun, katanya.
Satu dua kali dikoreksi untuk kesalahan yang memang wajar, tentu berharga. Tetapi tidak bila sudah keterlaluan, yaitu bila dikoreksi sampai sekecil-kecilnya, maka orang tidak akan lagi merasa dikoreksi, melainkan dideskreditkan(dijelekkan).  “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kapadamu”         (Mat. 7:2). Dan “Memulai pertengkaran adalah seperti membuka jalan air, jadi undurlah sebelum perbantahan dimulai” (Amsal 17:14). Goethe, penyair Jerman berkata, “Koreksi melakukan banyak hal, tapi dorongan semangat melakukan lebih banyak lagi. Mengkritik orang tanpa memberi dorongan sama sekali, tanpa pujian pertanda   mementingkan diri sendiri.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar